Kamis, 06 November 2008

Dimana Allah ..?

Sabtu, 23 Juni 2007 23:52:01 WIB

DIMANA ALLAH …?


Oleh
Syaikh Abdul Malik Ramadhan Al-Jazairi



Suatu ketika Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu pernah bertemu dengan salah seorang pemimpin partai Islam (dari Aljazair), Ali bin Hajj. Syaikh mengetahui sangat detail tentang kejadian yang terjadi pada mereka, dan telah sampai berita kepada beliau bahwa partai mereka mendapat dukungan jutaan pendukung. Diantara pertanyaan yang dilontarkan Syaikh kepadanya yaitu yang saya nukil secara ringkas disini.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu bertanya : “Apakah setiap orang yang bersamamu (yang mendukung partaimu) mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas Arsy?

Setelah terjadi dialog, dimana Ali bin Hajj berupaya untuk lari dari pertanyaan Syaikh Al-Albani, dan Syaikh pun berupaya untuk menutup jalan keluar dari pertanyaan diatas, dia menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan : “Kami berharap demikian”.

Syaikh berkata kepadanya : “Tinggalkan jawabanmu yang bersifat politis ini!”.

Lalu, diapun menjawab dengan tegas bahwasanya mereka tidak mengetahui hal itu. Maka, Syaikh berkata : “Cukuplah bagiku jawabanmu itu!”.

Prinsip Tasfiyyah dan Tarbiyyah mengharuskan pertanyaan diatas yang merupakan barometer yang paling tepat. Dengannya akan diketahui hakekat berbagai dakwah/jama’ah-jama’ah pada zaman ini yang menyerukan jihad. Sebab, orang yang tidak mampu memurnikan akidah para pendukung dan pecintanya, tentu ketidak mampuannya akan lebih nampak pada pemurnian (buah dari akidah tersebut), baik dalam akhlak, perilkau maupun dalam berbagai amal perbuatan mereka. Padahal diantara mereka (pendukungnya) ada orang yang membenci dan memeranginya, maka bagaimana mungkin ia dapat membina mereka sesudah itu? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [Ar-Rad : 11]

Selanjutnya, jihad itu sendiri tidak akan terwujud kecuali dengan sebuah umat yang hati mereka bersatu. Karena bersatunya hati akan sangat menunjang bagi perolehan kemenangan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dialah yang memperkuatmu dengan pertolonganNya dan dengan orang-orang mu’min, dan yang mempersatukan hati mereka” [Al-Anfaal : 62-63]

sedangkan hati-hati itu, jika tidak disatukan diatas akidah Salafush Shalih, niscaya mereka akan selalu berada dalam perselisihan yang tidak akan mungkin dapat disatukan dengan persatuan mereka melalui kotak-kotak pemilihan umum.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dengan mengarahkan firmanNya kepada para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka.

“Artinya : Maka jika mereka beriman kepada apa yang telah kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk ; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan denganmu” [Al-Baqarah : 137]

Bagaimanapun yang telah diupayakan para ‘Buih Politik” itu, berupa pengumpulan (masa pendukung), namun sesungguhnya permulaan akidah mereka mengarah kepada suatu sikap “Tamyi” (sikap menerima siapa saja yang mendukung mereka tanpa memperhatikan akidah dianutnya) dan akan berakhir dengan perpecahan dan saling mebid’ahkan.

Hal itu disebabkan karena pertemuan/persatuan yang bersifat jasmani tidak akan terwujud, kecuali hanya bersifat sementara bilamana ikatan hati becerai-berai. Dan saya tidak menjumpai suatu sifat (gambaran) yang lebih tepat dan benar untuk menggambarkan kondisi mereka, daripada apa yang telah di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala perihal orang-orang Yahudi.

“Artinya : Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka terpecah-belah” [Al-Hasyr : 14]

Intinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kekuasaan yang baik bagi hamba-hambaNya yang beribadah kepadaNya saja. Tanpa menyekutukanNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku” [An-Nur ; 55]

Bagian terdepan ayat ini tidak boleh ditolak dengan memberikan perumpamaan-perumpamaan sejarah untuk membatalkannya, karena seorang muslim adalah orang yang senantiasa berhenti pada nash (ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lagi pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” [An-Nur : 74]

Adapun pembatasan Syaikh Al-Albani rahimahullah akan pertanyaannya pada masalah istiwa (bersemayamya Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas di singgasana-Nya) disebabkan karena masalah istiwa merupakan persimpangan jalan yang memisahkan antara Ahlus Sunnah dan para pengikut hawa nafsu. Lagi pula ia merupakan masalah akidah yang mudah lagi gampang diketahui oleh masyarakat yang hidup bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana mereka telah menaklukkan dunia ini dan memimpin umat-umat yang beraneka ragam. (Akidah ini telah diketahui oleh mereka). Bahkan oleh seorang wanita penggembala kambing sekalipun.

Ujian ini dilkukan oleh Syaikh Al-Albani dengan menanyakan masalah ini kepada pemimpin partai politik tersebut, yang beranggapan bahwa partainya telah sempurna agamanya dan berada di atas garis kejahilan (orang-orang yang hidup) di zamannya. Ujian ini merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh para Salafush Shalih, meskipun di benci oleh setiap khalaf (orang yang datang sesudah mereka) yang tidak menempuh jalan dan cara mereka.

Imam Muslim dan lainnya telah meriwayatkan dari Muawiyyah bin Al-Hakam As-Sulami Radhiyallahu ‘anhu ia berkata :

“Artinya : Aku memiliki sekawanan kambing yang berada diantara gunung Uhud dan Jawwaniyah, disana ada seorang budak wanita. Suatu hari aku memeriksa kambing-kambing itu, tiba-tiba aku dapati bahwa seekor serigala telah membawa (memangsa) salah satu diantara kambing-kambing itu, sementara aku seorang manusia biasa, aku menyesalinya, lalu aku menampar wanita itu. Kemudian kudatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian tersebut kepadanya, beliaupun membesarkan peristiwa itu atasku, maka kukatakan kepadanya : ‘Wahai Rasulullah, tidakkah (lebih baik) aku memerdekakannya?, ‘Beliau berkata : Panggilah ia !, Lalu aku memanggilnya, maka beliau berkata kepadanya : ‘Dimana Allah?”, Wanita itu menjawab : ‘Diatas’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku?’, Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah!, Beliau berkata : ‘Bebaskanlah (merdekakanlah dia)! Karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman”. [Ahmad V/447, Muslim 537]

Maka, perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati anda), yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjihad bersama mereka, akidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sedikit, seperti wanita penggembala kambing ini. Dan cobalah anda perhatikan dengan seksama realita masyarakat Islam di zaman ini memanjat kursi-kursi kekuasaan, -jika anda memperhatikan dengan seksama- pasti akan anda dapatkan perbedaan yang sangat jauh antara jihad (perjuangan) mereka dengan perjuangan masyarakat muslimin yang pertama.

Maka, mampukah kelompok-kelompok jihad itu menyatukan para pengikut (mereka) diatas akidah “ainallah” (dimana Allah)?

Ataukah pertanyaan ini sudah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh kelompok-kelompok itu di zaman yang telah dipengaruhi kemajuan ini? Ataukah pertanyaan ini telah menjadi sesuatu yang diperolok-olokan oleh para pengasuh jama’ah-jama’ah itu? Ataukah mereka telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunan Allah Azza wa Jalla meskipun mereka menyia-nyiakan Allah Azza wa Jalla ?

Maka, kapankah Allah Azza wa Jalla akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan mereka dari orang-orang yang menghinakan mereka sebagaimana telah dibebaskannya budak wanita itu setelah ia mengenal Allah?

“Artinya : Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” [Yusuf : 21]

Hakikat pertanyaan ini (dimana Allah) adalah upaya untuk menampakkan hakikat/jati diri dakwah-dakwah itu serta memperjelas, sejauh mana keikhlasan niat-niat (mereka). Sebab, dalam perhatian yang dicurahkan pada permasalahan hukum megandung perhatian terhadap syariat dan dalam perhatian yang dicurahkan kepada masalah istiwa’ (bersemayamnya Allah Azza wa Jalla diatas Arsy/singgasana-Nya), mengandung perhatian terhadap hak Allah. Namun, diantara kedua perhatian diatas terdapat perbedaan, yaitu bahwasanya pada perhatian yang pertama (terhadap hukum) seorang hamba memperoleh bagian untuk dirinya berupa apa yang sering diucapkan diatas lisan, seperti pengembalian segala sesuatu yang diambil secara zhalim (kepada pemiliknya), pemenuhan segala hak-hak (bagi mereka yang berhak menerimanya) dan kehidupan yang senantiasa tercukupi yang benar-benar telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya.

“Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” [Al-A’raaf : 96]

Artinya, bagian (hak) seorang hamba bercampur (berhubungan erat) dengan hak Allah Azza wa Jalla. Adapun perhatian terhadap “Sifat istiwa Allah Azza wa Jalla diatas singgasana-Nya”, merupakan perhatian yang murni terhadap hak Allah Azza wa Jalla semata. Seorang yang mengajak manusia kepada penetapan dan iman kepada sifat ini tidak mendapat bagian untuk kepentingan pribadinya sendiri sedikitpun.

Maka, perhatikanlah secara seksama perbedaan ini, pasti anda akan mengetahui kemuliaan sebuah keikhlasan. Sebab, dengungan seputar permasalahan “ Hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla” yang disertai dengan sikap menganggap enteng terhadap permasalahan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla yang murni atau mengkafirkannya atau menjadikannya sebagai suatu masalah yang berada pada urutan terakhir, semua itu merupakan bukti terbesar yang menunjukkan bahwa pada urutan tersebut terdapat suatu cacat. Padahal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla adalah sesuatu yang paling mulia yang diturunkan-Nya, karena kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Semua ini semakin memberi penekanan yang kuat kepada kita akan pentingnya merujuk (kembali) kepada dakwah/ajakan para Nabi alaihimussalam yang telah menyatakan kepada umat-umat mereka.

“Artinya : Beribadahlah kepada Allah, sekai-kali tak ada ilah (yang sebenarnya) bagimu selain Dia” [Al-A’raaf ; 59]

Maka, dahulukanlah perhatian terhadap kesyirikan yang terjadi di kuburan-kuburan atas kesyirikan yang terjadi di istana-istana, jika ungkapan ini pantas untuk diucapkan, oleh sebab itulah, maka masalah imamah (kekhalifahan/ kepemimpinan) bukan merupakan bagian dari rukun-rukun iman, renungkanlah !!!

[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 11 Th. II 1425H/2004M, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali-Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda Surabaya]

दिमाना ALLOH

Dimana Allah ..?

Sabtu, 23 Juni 2007 23:52:01 WIB

DIMANA ALLAH …?


Oleh
Syaikh Abdul Malik Ramadhan Al-Jazairi



Suatu ketika Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu pernah bertemu dengan salah seorang pemimpin partai Islam (dari Aljazair), Ali bin Hajj. Syaikh mengetahui sangat detail tentang kejadian yang terjadi pada mereka, dan telah sampai berita kepada beliau bahwa partai mereka mendapat dukungan jutaan pendukung. Diantara pertanyaan yang dilontarkan Syaikh kepadanya yaitu yang saya nukil secara ringkas disini.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu bertanya : “Apakah setiap orang yang bersamamu (yang mendukung partaimu) mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas Arsy?

Setelah terjadi dialog, dimana Ali bin Hajj berupaya untuk lari dari pertanyaan Syaikh Al-Albani, dan Syaikh pun berupaya untuk menutup jalan keluar dari pertanyaan diatas, dia menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan : “Kami berharap demikian”.

Syaikh berkata kepadanya : “Tinggalkan jawabanmu yang bersifat politis ini!”.

Lalu, diapun menjawab dengan tegas bahwasanya mereka tidak mengetahui hal itu. Maka, Syaikh berkata : “Cukuplah bagiku jawabanmu itu!”.

Prinsip Tasfiyyah dan Tarbiyyah mengharuskan pertanyaan diatas yang merupakan barometer yang paling tepat. Dengannya akan diketahui hakekat berbagai dakwah/jama’ah-jama’ah pada zaman ini yang menyerukan jihad. Sebab, orang yang tidak mampu memurnikan akidah para pendukung dan pecintanya, tentu ketidak mampuannya akan lebih nampak pada pemurnian (buah dari akidah tersebut), baik dalam akhlak, perilkau maupun dalam berbagai amal perbuatan mereka. Padahal diantara mereka (pendukungnya) ada orang yang membenci dan memeranginya, maka bagaimana mungkin ia dapat membina mereka sesudah itu? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [Ar-Rad : 11]

Selanjutnya, jihad itu sendiri tidak akan terwujud kecuali dengan sebuah umat yang hati mereka bersatu. Karena bersatunya hati akan sangat menunjang bagi perolehan kemenangan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dialah yang memperkuatmu dengan pertolonganNya dan dengan orang-orang mu’min, dan yang mempersatukan hati mereka” [Al-Anfaal : 62-63]

sedangkan hati-hati itu, jika tidak disatukan diatas akidah Salafush Shalih, niscaya mereka akan selalu berada dalam perselisihan yang tidak akan mungkin dapat disatukan dengan persatuan mereka melalui kotak-kotak pemilihan umum.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dengan mengarahkan firmanNya kepada para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka.

“Artinya : Maka jika mereka beriman kepada apa yang telah kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk ; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan denganmu” [Al-Baqarah : 137]

Bagaimanapun yang telah diupayakan para ‘Buih Politik” itu, berupa pengumpulan (masa pendukung), namun sesungguhnya permulaan akidah mereka mengarah kepada suatu sikap “Tamyi” (sikap menerima siapa saja yang mendukung mereka tanpa memperhatikan akidah dianutnya) dan akan berakhir dengan perpecahan dan saling mebid’ahkan.

Hal itu disebabkan karena pertemuan/persatuan yang bersifat jasmani tidak akan terwujud, kecuali hanya bersifat sementara bilamana ikatan hati becerai-berai. Dan saya tidak menjumpai suatu sifat (gambaran) yang lebih tepat dan benar untuk menggambarkan kondisi mereka, daripada apa yang telah di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala perihal orang-orang Yahudi.

“Artinya : Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka terpecah-belah” [Al-Hasyr : 14]

Intinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kekuasaan yang baik bagi hamba-hambaNya yang beribadah kepadaNya saja. Tanpa menyekutukanNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku” [An-Nur ; 55]

Bagian terdepan ayat ini tidak boleh ditolak dengan memberikan perumpamaan-perumpamaan sejarah untuk membatalkannya, karena seorang muslim adalah orang yang senantiasa berhenti pada nash (ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lagi pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” [An-Nur : 74]

Adapun pembatasan Syaikh Al-Albani rahimahullah akan pertanyaannya pada masalah istiwa (bersemayamya Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas di singgasana-Nya) disebabkan karena masalah istiwa merupakan persimpangan jalan yang memisahkan antara Ahlus Sunnah dan para pengikut hawa nafsu. Lagi pula ia merupakan masalah akidah yang mudah lagi gampang diketahui oleh masyarakat yang hidup bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana mereka telah menaklukkan dunia ini dan memimpin umat-umat yang beraneka ragam. (Akidah ini telah diketahui oleh mereka). Bahkan oleh seorang wanita penggembala kambing sekalipun.

Ujian ini dilkukan oleh Syaikh Al-Albani dengan menanyakan masalah ini kepada pemimpin partai politik tersebut, yang beranggapan bahwa partainya telah sempurna agamanya dan berada di atas garis kejahilan (orang-orang yang hidup) di zamannya. Ujian ini merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh para Salafush Shalih, meskipun di benci oleh setiap khalaf (orang yang datang sesudah mereka) yang tidak menempuh jalan dan cara mereka.

Imam Muslim dan lainnya telah meriwayatkan dari Muawiyyah bin Al-Hakam As-Sulami Radhiyallahu ‘anhu ia berkata :

“Artinya : Aku memiliki sekawanan kambing yang berada diantara gunung Uhud dan Jawwaniyah, disana ada seorang budak wanita. Suatu hari aku memeriksa kambing-kambing itu, tiba-tiba aku dapati bahwa seekor serigala telah membawa (memangsa) salah satu diantara kambing-kambing itu, sementara aku seorang manusia biasa, aku menyesalinya, lalu aku menampar wanita itu. Kemudian kudatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian tersebut kepadanya, beliaupun membesarkan peristiwa itu atasku, maka kukatakan kepadanya : ‘Wahai Rasulullah, tidakkah (lebih baik) aku memerdekakannya?, ‘Beliau berkata : Panggilah ia !, Lalu aku memanggilnya, maka beliau berkata kepadanya : ‘Dimana Allah?”, Wanita itu menjawab : ‘Diatas’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku?’, Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah!, Beliau berkata : ‘Bebaskanlah (merdekakanlah dia)! Karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman”. [Ahmad V/447, Muslim 537]

Maka, perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati anda), yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjihad bersama mereka, akidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sedikit, seperti wanita penggembala kambing ini. Dan cobalah anda perhatikan dengan seksama realita masyarakat Islam di zaman ini memanjat kursi-kursi kekuasaan, -jika anda memperhatikan dengan seksama- pasti akan anda dapatkan perbedaan yang sangat jauh antara jihad (perjuangan) mereka dengan perjuangan masyarakat muslimin yang pertama.

Maka, mampukah kelompok-kelompok jihad itu menyatukan para pengikut (mereka) diatas akidah “ainallah” (dimana Allah)?

Ataukah pertanyaan ini sudah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh kelompok-kelompok itu di zaman yang telah dipengaruhi kemajuan ini? Ataukah pertanyaan ini telah menjadi sesuatu yang diperolok-olokan oleh para pengasuh jama’ah-jama’ah itu? Ataukah mereka telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunan Allah Azza wa Jalla meskipun mereka menyia-nyiakan Allah Azza wa Jalla ?

Maka, kapankah Allah Azza wa Jalla akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan mereka dari orang-orang yang menghinakan mereka sebagaimana telah dibebaskannya budak wanita itu setelah ia mengenal Allah?

“Artinya : Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” [Yusuf : 21]

Hakikat pertanyaan ini (dimana Allah) adalah upaya untuk menampakkan hakikat/jati diri dakwah-dakwah itu serta memperjelas, sejauh mana keikhlasan niat-niat (mereka). Sebab, dalam perhatian yang dicurahkan pada permasalahan hukum megandung perhatian terhadap syariat dan dalam perhatian yang dicurahkan kepada masalah istiwa’ (bersemayamnya Allah Azza wa Jalla diatas Arsy/singgasana-Nya), mengandung perhatian terhadap hak Allah. Namun, diantara kedua perhatian diatas terdapat perbedaan, yaitu bahwasanya pada perhatian yang pertama (terhadap hukum) seorang hamba memperoleh bagian untuk dirinya berupa apa yang sering diucapkan diatas lisan, seperti pengembalian segala sesuatu yang diambil secara zhalim (kepada pemiliknya), pemenuhan segala hak-hak (bagi mereka yang berhak menerimanya) dan kehidupan yang senantiasa tercukupi yang benar-benar telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya.

“Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” [Al-A’raaf : 96]

Artinya, bagian (hak) seorang hamba bercampur (berhubungan erat) dengan hak Allah Azza wa Jalla. Adapun perhatian terhadap “Sifat istiwa Allah Azza wa Jalla diatas singgasana-Nya”, merupakan perhatian yang murni terhadap hak Allah Azza wa Jalla semata. Seorang yang mengajak manusia kepada penetapan dan iman kepada sifat ini tidak mendapat bagian untuk kepentingan pribadinya sendiri sedikitpun.

Maka, perhatikanlah secara seksama perbedaan ini, pasti anda akan mengetahui kemuliaan sebuah keikhlasan. Sebab, dengungan seputar permasalahan “ Hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla” yang disertai dengan sikap menganggap enteng terhadap permasalahan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla yang murni atau mengkafirkannya atau menjadikannya sebagai suatu masalah yang berada pada urutan terakhir, semua itu merupakan bukti terbesar yang menunjukkan bahwa pada urutan tersebut terdapat suatu cacat. Padahal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla adalah sesuatu yang paling mulia yang diturunkan-Nya, karena kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Semua ini semakin memberi penekanan yang kuat kepada kita akan pentingnya merujuk (kembali) kepada dakwah/ajakan para Nabi alaihimussalam yang telah menyatakan kepada umat-umat mereka.

“Artinya : Beribadahlah kepada Allah, sekai-kali tak ada ilah (yang sebenarnya) bagimu selain Dia” [Al-A’raaf ; 59]

Maka, dahulukanlah perhatian terhadap kesyirikan yang terjadi di kuburan-kuburan atas kesyirikan yang terjadi di istana-istana, jika ungkapan ini pantas untuk diucapkan, oleh sebab itulah, maka masalah imamah (kekhalifahan/ kepemimpinan) bukan merupakan bagian dari rukun-rukun iman, renungkanlah !!!

[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 11 Th. II 1425H/2004M, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali-Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda Surabaya]

कोंसेप MODAL

Modal kerja meliputi seluruh aktiva lancar atau aktiva lancar dikurangi hutang lancar. Contoh manajemen modal kerja adalah manajemen kas, manajemen piutang manajemen persediaan.Terdapat tiga konsep definisi modal kerja yaitu :

  • Konsep kuantitatif:

Konsep ini menunjukan jumlah dana ( fund) yang tersedia untuk tujuan operasi jangka pendek. Konsep ini menganggap bahwa modal kerja adalah jumlah aktiva lancer ( gross working capital ).

  • Konsep kualitatif:

Menitik beratkan pada kualitas modal kerja menurut konsep ini modal kerja adalah kelebihan aktiva lancar terhdap hutang lancar ( net working capital ). Sehingga menunjukan margin of protection ( tingkat keamanan bagi para kreditur jangka pendek )

  • Konsep fungsional:

Menitik beratkan fungsi dari dana yang dimiliki dalam menghasilkan laba dari usaha pokok perusahaan yaitu current income dan future income.

TUJUAN DAN SUMBER MODAL KERJA

Tujuan laporan perubahan modal kerja adalah memberikan ringkasan transaksi keuangan yang terjadi selama satu periode dengan menunjukan sumber dan penggunaan modal kerja dalam periode tersebut. Laporan perubahan modal kerja akan memberikan gambaran tentang bagaimana management mengelolah perputaran atau sirkulasi modalnya. Dimana sumber- sumber modal kerja berasal dari :

· Hasil operasi perusahaan

· Keuntungan dari pernjualan surat-surat berharga ( investasi jangka pendek )

· Penjualan aktiva tidak lancar

· Penjualan saham atau obligasi.

SEBAB PERUBAHAN MODAL KERJA

  • Adanya kenaikan sector modal baik yang berasal dari laba maupun adanya pengeluaran modal saham atau tambahan investasi dari pemilik perusahaan maka modal kerja akan bertambah
  • Ada pengurangan atau penurunan aktiva tetap yang diimbangi dengan bertambahnya aktiva lancar karena adanya penjualan aktiva tetap maupun melalui proses depresiasi,modal kerja kan bertambah
  • Ada penambahan hutang jangka panjang baik dalam bentuk obligasi, hipotek, atau hutang jangka panjang lainnya yang diimbangi dengan bertambahnya aktiva lancar, maka modal kerja akan bertambah
  • Karena kerugian yang diderita oleh perusahaan, baik kerugian normal maupun kerugian exidentil.maka akan mengurangi modal kerja
  • Adanya pembentukan dana atau pemisahan aktiva lancar untuk tujuan-tujuan tertentu dalam jangka panjang.maka akan mengurangi modal kerja
  • Adanya penambahan atau pembelian aktiva tetap maka akan mengurangi modal kerja
  • Pengambilan uang atau barang yang dilakukan oleh pemilik perusahaan untuk kepentingan pribadi.

MANFAAT MANAJEMEN MODAL KERJA

  • Melindungi perusahaan terhadap krisis modal kerja karena turunnya nilai dari aktiva lancar.
  • Memungkinkan untuk dapat membayar semua kewajiban-kewajiban tepat pada waktunya.
  • Menjamin dimilikinya kredit standing perusahaan semakin besar dan memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat menghadapi bahaya-bahaya atau kesulitan keuangan yang mungkin terjadi.
  • Memungkinkan untuk memiliki persediaan dalam jumlah yang cukup untuk melayani konsumen
  • Memungkinkan bagi perusahaan untuk memberikan syarat kredit yang lebih menguntungkan kepada para langganannya.
  • Memungkinkan bagi perusahaan untuk dapat beroperasi dengan lebih efisien karena tidak ada kesulitan untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan.
  • Laporan modal kerja akan sangat berguna bagi management untuk mengadakan pengawasan terhadap modal kerja

CARA MEMBUAT LAPORAN MODAL KERJA

Laporan perubahan modal kerja merupakan ringkasan tentang hasil-hasil aktivitas keuangan suatu perusahaan dalam satu periode tertentu dan menyajikan sebab-sebab perubahan-peubahan posisi keuangan perusahaan tersebut.

Berikut ini merupakan contoh penyusunan “Laporan Modal Kerja” berikut ini diberikan data PT Jaya Makmur yang diperbandingkan antara 31 desember 1997 dengan neraca 31 desember 1998 sebagai berikut :

PT. JAYA MAKMUR

Neraca yang diperbandingkan

31 Desember 1997,1998

neraca yg diperbandingkan

Dari data diatas diketahui laba ditahan tahun 1996 Rp771,400. dan laba bersih tahun 1997 Rp 1,000,000 di asumsikan jika tidak diketahui data lainnya, maka dari neraca yang diperbandingan tersebut dapat secara langsung dibuat “Laporan Perubahan Modal Kerja” sebagai berikut :

LAPORAN PERUBAHAN MODAL

Sumber Modal Kerja :

1) Hasil Operasi : Laba Rp. 521,900

Depresiasi Rp. 83,500

—————– +

Rp. 605,400

2) Penjualan Saham Rp. 600,000

—————– +

Rp1,205,400

Penggunaan Modal Kerja

1) Pembelian Gedung Rp. 400,000

2) Pembelian Alat-alat Kantor Rp. 150,000

3) Pembayaran Hutang Obligasi Rp. 150,000

—————— +

Rp. 700,000

————— -

Kenaikan Modal Kerja Rp. 505,400

Dari laporan diatas maka PT JAYA MAKMUR mendapatkan kenaikan modal kerja pada tahun 1998 sebesar Rp. 505,400 dimana sumbernya berasal dari hasil operasi dan penjualan saham.

Laporan modal kerja akan bertambah apabila aktiva lancar bertambah yang diimbangi atau dibarengi dengan perubahan dalam sector atau pos tidak lancar (non current account). Tetapi penggunaan aktiva lancar tidak selalu diikuti dengan berubahnya atau turunnya jumlah modal kerja yang dimiliki oleh perusahaan misalnya penggunaan aktiva lancar untuk melunasi atau membayar hutang lancar.

Manajemen modal kerja yang sehat memperhatikan 2 masalah keputusan yang mendasar pada perusahaan :

  • Penentuan jumlah optimal investasi dalam aktiva lancar
  • Penentuan kombinasi yang tepat antara pembelanjaan utang lancar dan utang jangka panjang untuk mendukung investasi dalam modal kerja.

prosedur:

MANAJEMEN KAS

Terdapat tiga motif utama seseorang atau perusahaan dalam memegamg uang kas :

1) Motif transaksi: kas diperlukan untuk memenuhi pembayaran-pembayaran yang timbul dari kegiatan-kegiatan bisnis sehari hari

2) Motif berjaga-jaga; kas diperlukan untuk berjaga-jaga apabila terjadi kebutuhan pembayaran kas yang tak terduga

3) Motif spekulasi; kas diperlukan untuk melakukan transaksi spekulasi agar mendapat keuntungan jika ada peluang jangka pendek.

Tips-tips cara pengelolaan kas :

1. Pengurangan waktu penagihan piutang, yaitu waktu yang diperlukan untuk prosedur penagihan diusahakan secepat mungkin.

2. Pengurangan waktu pengumpulan kas, misalnya dengan proses otomatisasi perbankan

3. Pengendalian pengeluaran kas secara mudah dan tepat waktu dengan pemusatan utang dalam satu atau beberapa rekening.

4. Mebentuk prosedur operasional pembayaran kas

5. memperlambat pembayaran dengan PTD (payble trough draft seperti cek mundur.

Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya persediaan kas :

1. Perimbangan antara cash inflow dan cash outflow

2. Penyimpangan terhadap aliran kas yang diperkirakan

3. Adanya hubungan financial yang baik dengan bank-bank

4. Penganggaran kas

CASH FLOW

1.PENGERTIAN

Cash flow (aliran kas) merupakan “sejumlah uang kas yang keluar dan yang masuk sebagai akibat dari aktivitas perusahaan dengan kata lain adalah aliran kas yang terdiri dari aliran masuk dalam perusahaan dan aliran kas keluar perusahaan serta berapa saldonya setiap periode.

Hal utama yang perlu selalu diperhatikan yang mendasari dalam mengatur arus kas adalah memahami dengan jelas fungsi dana/uang yang kita miliki, kita simpan atau investasikan. Secara sederhana fungsi itu terbagi menjadi tiga yaitu :

· Pertama, fungsi likuiditas, yaitu dana yang tersedia untuk tujuan memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dapat dicairkan dalam waktu singkat relatif tanpa ada pengurangan investasi awal.

· Kedua, fungsi anti inflasi, dana yang disimpan guna menghindari resiko penurunan pada daya beli di masa datang yang dapat dicairkan dengan relatif cepat.

· Ketiga, capital growth, dana yang diperuntukkan untuk penambahan/perkembangan kekayaan dengan jangka waktu relatif panjang..

Aliran kas yang berhubungan dengan suatu proyek dapat di bagi menjadi tiga kelompok yaitu:

a) Aliran kas awal (Initial Cash Flow) merupakan aliran kas yang berkaitan dengan pengeluaran untuk kegiatan investasi misalnya; pembelian tanah, gedung, biaya pendahuluan dsb. Aliran kas awal dapat dikatakan aliran kas keluar (cash out flow)

b) Aliran kas operasional (Operational Cash Flow) merupakan aliran kas yang berkaitan dengan operasional proyek seperti; penjualan, biaya umum, dan administrasi. Oleh sebab itu aliran kas operasional merupakan aliran kas masuk (cash in flow) dan aliran kas keluar (cash out flow).

c) Aliran kas akhir (Terminal Cash Flow) merupakan aliran kas yang berkaitan dengan nilai sisa proyek (nilai residu) seperti sisa modal kerja, nilai sisa proyek yaitu penjualan peralatan proyek.

2 KETERBATASAN

Cash flow mempunyai beberapa keterbatasan-keterbatasan antara lain;

a)Komposisi penerimaan dan pengeluaran yang dimasukan dalam cash flow hanya yang bersifat tunai.

b) Perusahaan hanya berpusat pada target yang mungkin kurang fleksibel

c)Apabila terdapat perubahan pada situasi internal maupun eksternal dari perusahaan yang dapat mempengaruhi estimasi arus kas masuk dan keluar yang seharusnya diperhatikan, maka akan terhambat karena manager hanya akan terfokus pada budget kas misalnya; kondisi ekonomi yang kurang stabil, terlambatnya customer dalam memenuhi kewajibanya.

3 MANFAAT

Adapun kegunaan dalam menyusun estimasi cash flow dalam perusahaan sangat berguna bagi beberapa pihak terutama manajement. Diantaranya:

1) Memberikan seluruh rencana penerimaan kas yang berhubungan dengan rencana keuangan perusahaan dan transaksi yang menyebabkan perubahan kas.

2) Sebagian dasar untuk menaksir kebutuhan dana untuk masa yang akan datang dan memperkirakan jangka waktu pengembalian kredit.

3) Membantu menager untuk mengambil keputusan kebijakan financial.

4) Untuk kreditur dapat melihat kemampuan perusahaan untuk membayar kredit yang diberikan kepadanya

LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN

Ada empat langka dalam penyusunan cash flow, yaitu :

1. Menentukan minimum kas

2. Menyusun estimasi penerimaan dan pengeluaran

3. Menyusun perkiraan kebutuhan dana dari hutang yang dibutuhkan untuk menutupi deficit kas dan membayar kembali pinjaman dari pihak ketiga.

4. Menyusun kembali keseluruhan penerimaan dan pengeluaran setelah adanya transaksi financial dan budget kas yang final.

Cash flow memuat tiga bagian utama, yang terdiri dari:

1. Cash in flow, pada bagian ini mengidentifikasi sumber-sumber dana yang akan diterima , jumlah dananya dan waktu dalam periode tersebut, yang akan dihasilkan berupa penjualan tunai, penjualan kredit yang akan menjadi piutang, ha

hidup penuh tantangan

TANTANGAN
TANTANGAN
TANTANGAN
TANTANGAN
TANTANGAN
TANTANGAN
TANTANGAN
TANTANGAN
YA KAN TANTANGANNYA
BUANYAK.
HE...............................